Halaman

Selasa, 18 Januari 2011

MEKANISME REDD DALAM MENGATASI PERUBAHAN IKLIM DI INDONESIA


Oleh : Chip Sharoon H

Indonesia merupakan Negara dengan luas hutan tropika terbesar ketiga yang mencapai kurang lebih 60% dari luas daratanya. Akan tetapi, hasil pemantauan melalui citra landsat, diperkirakan bahwa antara tahun 2003 sampai 2006, luas hutan ini mengalami deforestasi dan degradasi rata-rata 1,17 juta Ha per tahun. Deforestasi dan degradasi ini telah mengakibatkan hilangnya keanekaragaman hayati yang ada di Indonesia dan juga kontribusi secara nyata terhadap perubahan iklim (UN-REDD)
Deforestrasi dan degradasi hutan merupakan penyumbang emisi karbon, yang mengakibatkan kurang seimbangnya konsentrasi karbon diatmosfir. Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) memperkirakan emisi karbon dari deforestasi hutan tropis pada tahun 1990-an yaitu 1,6 miliar ton karbon per tahun sebanding 20% dari emisi karbon secara global (REDD-I, 2009).
Mengapa hutan dapat menyumbangkan emisi karbon yang besar melalui deforestasi?
Ketika hutan ditebang atau digunduli, biomassa yang tersimpan di dalam pohon akan membusuk atau terurai dan menghasilkan gas karbon dioksida (CO2), sehingga menyebabkan peningkatan konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer yang memerangkap panas yang dipancarkan permukaan bumi. Selain itu, beberapa kawasan hutan melindungi sejumlah besar karbon yang tersimpan di bawah tanah. Sebagai contoh, ketika hutan di lahan gambut dibakar atau dikeringkan, maka emisi karbon yang dikeluarkan tidak hanya terbatas dari vegetasi yang tumbuh di permukaan tanah; bahan organik yang ada di dalam tanah juga akan terurai dan mengeluarkan CO2. Hutan lahan gambut memiliki lebih banyak karbon di bawah permukaan daripada di atasnya (CIFOR, 2009).
Upaya mitigasi harus mengutamakan pengurangan emisi dari penggunaan bahan bakar fosil di negara-negara industri. Meskipun pengaruhnya relatif kecil, kegiatan penanaman pohon untuk menyerap karbon juga berperan dalam mitigasi perubahan iklim. Namun demikian, untuk mengurangi 20 persen dari emisi yang berkaitan dengan hutan, kita memerlukan pendekatan konservasi yang baru dan lebih efektif. Salah satu pendekatan yang dimaksud adalah REDD, kependekan dari ‘Reducing Emissions from Deforestationand forest Degradation’ (pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan). Ide ini berbeda dengan kegiatan konservasi hutan sebelumnya karena dikaitkan langsung dengan insentif finansial untuk konservasi yang bertujuan menyimpan karbon di hutan.
Protokol Kyoto yang merupakan perjanjian internasional terkait dengan Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim. Fitur utama dari Protokol Kyoto adalah bahwa ia menetapkan target yang mengikat untuk 37 negara industri dan masyarakat Eropa untuk mengurangi gas rumah kaca. Hal ini disebabkan bahwa negara-negara maju merupakan penyumbang emisi gas rumah kaca di atmosfer terbesar selama lebih dari 150 tahun dari kegiatan industri, Protokol menempatkan beban yang lebih berat di negara-negara maju di bawah prinsip "common but differentiated responsibilities."  Aturan rinci untuk implementasi Protokol tersebut diadopsi pada COP 7 di Marrakesh tahun 2001, dan disebut "Persetujuan Marrakesh."
Pada tahun 2007, REDD untuk pertama kalinya dicanangkan pada COP 13 di Bali. Ide ini menghasilkan Rencana Aksi Bali (Bali Action Plan), sebuah rencana atau peta jalan negosiasi strategi iklim global untuk melanjutkan Protokol Kyoto. Rencana ini mengakui pentingnya hutan dalam mengatasi perubahan iklim dan besarnya potensi yang terkandung dalam REDD. Inisiatif REDD dalam mitigasi perubahan iklim dapat memberikan berbagai macam manfaat dan keuntungan lain yang menyertainya. Termasuk di dalamnya adalah manfaat untuk memberikan perlindungan bagi jasa lingkungan yang disediakan oleh hutan, meningkatkan penghidupan masyarakat sekitar hutan dan memperjelas hak kepemilikan lahan (CIFOR, 2009).
Proyek kehutanan yang menjadi cakupan REDD adalah menyangkut upaya pengurangan emisi akibat kerusakan hutan (Antara 25 Agustus 2009) . Dengan demikian, dana REDD bukan dana pelestarian atau menjaga hutan. Termasuk diantaranya, bukan termasuk berapa luas hutan, tetapi seberapa jauh kemampuan atau usaha untuk mengurangi pemanasan global.
Hal ini yang kemudian menjadi kriteria penetapan proyek per-contohan REDD di Indonesia. Daerah sasaran proyek percontohan REDD di Indonesia di-alamatkan pada  Papua, Aceh, Kalimantan, atau bahkan Maluku. Daerah ini dinilai memenuhi kriteria untuk proyek pengurangan emisi karbon.  Untuk proyek proyek percontohan, persiapannya dimulai 2007-2012 dengan  dana sebesar US$100 juta. Dana ini berasal dari negara-negara pendukung program REDD dan dana tersebut akan didistribusikan ke daerah-daerah yang menjadi proyek percontohan program REDD.
Untuk itu mekanisme REDD perlu dipahami sebagai pendanaan perubahan iklim (climate change fund), bukan upah karena Indonesia memiliki hutan luas. Hutan luas tanpa dibarengi kemampuan menjaga peran hutan sebagai penyeimbang iklim dan penyimpan karbon tidak akan menghasilkan apa pun. Dengan kata lain, Indonesia dapat uang karena mampu mengurangi emisi gas rumah kaca (Purnomo, A, 2009).
Indonesia telah menetapkan Road Maps REDDI (REDD Indonesia), yang terbagi ke dalam 3 fase:
·         Fase Persiapan/Readiness (tahun 2007/sebelum COP-13) untuk penyiapan perangkat metodologi/arsitektur dan strategi implementasi REDDI, komunikasi/koordinasi/konsultasi stakeholders, termasuk penentuan kriteria untuk pemilihan lokasi pilot activities,
·         Fase Pilot/transisi (2008-2012): menguji metodologi dan strategi, dan transisi dari non-market (fund-based) ke mekanisme pasar (market mechanism), dan
·         Fase Implementasi penuh (dari 2012 atau lebih awal tergantung perkembangan negosiasi dan kesiapan Indonesia, dengan tata cara (rules and procedures) berdasarkan keputusan COP dan ketentuan di Indonesia.
Proses penentuan kebijakan yang terkait dengan REDD di Indonesia didominasi oleh pendekatan dari-atas-ke-bawah (top-down). Diawali dengan pembentukan Indonesian Forest-Climate Alliance (IFCA), pemerintah mengundang partisipasi berbagai pihak untuk mencermati rancang bangun REDD. Kelompok ini kemudian merumuskan perlunya kerangka kebijakan yang terkait dengan: penentuan tingkat emisi acuan, strategi penggunaan lahan, pemantauan, mekanisme keuangan dan pembagian keuntungan dan tanggung jawab. Selanjutnya pemerintah mengusulkan rancangan kesiapan (Readiness Plan, R-Plan) kepada Bank Dunia untuk menunjang pelaksanaan REDD di Indonesia. Selain komponen di atas, di dalam R-Plan juga diuraikan rencana penilaian dampak REDD terhadap kondisi sosial dan lingkungan serta investasi untuk pengembangan kapasitas. Bersamaan dengan ini, usulan lain juga diajukan kepada UN-REDD, sebuah program kolaborasi badan-badan PBB (FAO, UNEP dan UNDP), khususnya yang menyangkut kerjasama lintas sektor di Indonesia (REED, 2009)
Dalam kaitanya dengan pelaksanaan REDD, Indonesia menjadi negara pertama yang mengembangkan peraturan khusus mengenai REDD. Peraturan yang dikeluarkan oleh Menteri Kehutanan ini (Permenhut) membolehkan masyarakat adat, pemerintah daerah (local authorities), organisasi swasta dan pihak bisnis, baik lokal maupun asing, untuk menjalankan proyek-proyek (percontohan) REDD. Menurut peraturan ini proyek-proyek REDD hanya diberikan kepada orang atau sekelompok orang yang memiliki surat kepemilikan dari hutan tersebut (REDD, 2009). Berikut adalah peraturan perundangan yang berkaitan dengan REDD :
1.      Permenhut No. P. 68/Menhut-II/2008 tentang Penyelenggaraan Demonstration Activities Pengurangan Emisi Karbon dari Deforestasi dan Degradasi Hutan (REDD)
2.      Permenhut No. P. 30/Menhut-II/2009 tentang Tata Cara Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan (REDD)
3.      Permenhut No. P. 36/Menhut-II/2009 tentang Tata Cara Perizinan Usaha Pemanfaatan Penyerapan dan/atau Penyimpanan Karbon pada Hutan Produksi dan Hutan Lindung
Segabagai tindak lanjut dari upaya pengurangan emisi karbon, Menteri kehutanan telah menetapkan pencadangan Hutan Tanaman Rakyat (HTR) di 10 kabupaten yaitu Kabupaten Lampung Barat seluas ± 24.835 ha, Musi Rawas ± 20.375 ha, Manggarai Timur ± 10.730 ha, Landak ± 10.430 ha, Tanah Bumbu ± 9.035 ha, Halmahera Timur ± 7.020 ha, labuhan Batu ± 6.600 ha, Kotabaru ± 3.900 ha, Banggai Kepulauan ± 3.575 ha, dan Bone Bolango ± 400 ha.
Selain itu, Menteri Kehutanan menyatakan bahwa penetapan pencadangan Hutan Tanaman Rakyat (HTR), Hutan Kemasyarakatan (HKm), Hutan Rakyat dan Hutan Desa sebagai salah satu upaya ndust kehutanan berkontribusi menurunkan emisi karbon sebesar 14% dari target yang ditetapkan Presiden SBY sebesar 26% pada 2020. Program mitigasi ndust kehutanan ini ndus pada penyerapan CO2 melalui penanaman pohon seluas 500 ribu Ha per tahun melalui Hutan Kemasyarakatan (HKm) dan Hutan Desa, 300 ribu Ha Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL) di Daerah Aliran Sungai (DAS) super kritis, 500 ribu Ha pembangunan Hutan Tanaman Industri (HTI) dan Hutan Tanaman Rakyat (HTR), 300 ribu Ha per tahun HPH Restorasi Ekosistem dan 50 ribu Ha Hutan Rakyat Kemitraan dengan ndustry perkayuan. Selain itu, Kementerian Kehutanan juga meningkatkan pemberantasan illegal logging, pengendalian kebakaran, perambahan hutan dan pengurangan laju konversi hutan (Pusinfo, Dephut, 2010).
Daftar Pustaka

Dephut, 2009, REDD Indonesia, Staf Ahli Menteri Bidang Kemitraan, Departemen Kehutanan RI.
Pusat Informasi Kehutanan, 2010, Pemberdayaan Masyarakat Dan Penurunan Emisi Karbon Dengan HTR, HKm, Hutan Rakyat Dan Hutan Desa,  Siaran Pers Nomor: S.59/PIK-1/2010, Departemen Kehutanan.
CIFOR, 2009, Apakah itu? Pedoman CIFOR tentang Hutan, perubahan iklim dan REDD, http://www.cifor.cgiar.org
Greenpeace, 2009, Perubahan iklim, http://www.greenpeace.org/seasia/id/

REDD-I, 2009, Memperkuat pelaksanaan REDD di Indonesia, http://www.redd-indonesia.org/Memperkuat pelaksanaan REDD di Indonesia.html

Wikipedia, 2009, Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation (REDD), http://en.wikipedia.org/wiki/Reducing_emissions_from_deforestation_and_forest_degradation
UNFCCC, 2009, Kyoto Protocol, http://unfccc.int/kyoto_protocol/items/2830.php

Tidak ada komentar:

Posting Komentar