Halaman

Selasa, 18 Januari 2011

PENJARANGAN


Oleh : Chip Sharoon H

PENDAHULUAN
Dalam proses pertumbuhannya, suatu tegakan hutan semenjak ditanam sampai dengan akhir daur akan melewati beberapa tahap kegiatan pemeliharaan hutan mulai dari penyulaman, wiwil, prunning, dan penjarangan diluar kegiatan perlindungan hama-penyakit dan pengamanan gangguan keamanan hutan. Dalam rangkaian pengelolaan hutan, di samping kegiatan pembuatan tanaman dan pemanenan hasil hutan, kegiatan pemeliharaan hutan khususnya penjarangan hutan memiliki peranan yang cukup penting baik ditinjau dari aspek silvikultur untuk menjamin kualitas tegakan maupun dari aspek finansial untuk meningkatkan pendapatan perusahaan.
Penjarangan hutan adalah suatu tindakan silvikultur terhadap tegakan hutan tanaman yang bertujuan untuk memperoleh tegakan tinggal sehat, kualitas kayu yang baik pada akhir daur, sehingga hasil/produksi penjarangan hutan bukan merupakan tujuan utama tetapi merupakan hasil antara dari tindakan silvikultur. Tujuan dari kegiatan penjarangan adalah memelihara pohon-pohon yang terbaik pada suatu tegakan dengan memberi ruang tumbuh yang cukup bagi tegakan tinggal sehingga pada akhir daur akan diperoleh tegakan hutan yang memiliki massa kayu yang besar dan berkualitas tinggi. Untuk menghindari tumbuhnya tunas air dan serangan hama/penyakit, pada tegakan muda dilakukan penjarangan dengan derajat penjarangan lemah dengan frekuensi sesering mungkin.
Penjarangan dan penebangan dilakukan dengan berbagai  Pertimbangan yang mungkin bisa dilakukan ini tergantung pada: Jarak tanam; Kesuburan tanah;  Perawatan. Pelaksanaan penjarangan sendiri didasarkan atas beberapa pertimbangan antara lain:
Pertimbangan ekonomis; Jumlah pohon persatuan luas ideal; Penjarangan sistematik; Penjarangan seleksi rendah; Penjarangan tajuk.

Berkaitan dengan prinsip-prinsip penjarangan tersebut, maka yang ideal adalah dilakukan dengan kaidah selemah mungkin akan tetapi sesering mungkin. Sebab penjarangan yang terlalu keras akan menyebabkan ruang tumbuh yang terlalu terbuka yang mengakibatkan tanaman menjadi lunglai, sedangkan penjarangan yang telalu lemah menyebabkan tanaman menjadi kurang optimal pertumbuhannya.
Penjarangan tegakan dilakukan terutama terhadap HTI untuk tujuan produksi kayu pertukangan, sedangkan untuk kayu bakar, kayu serat dan non kayu tidak dilakukan  penjarangan. Kegiatan penjarangan dilakukan pada masing-masing petak tanaman paling banyak tiga kali dalam satu daur. Penjarangan tegakan adalah tindakan pengurangan jumlah batang persatuan luas untuk mengatur kembali ruang tumbuh pohon dalam rangka mengurangi persaingan antar pohon dan meningkatkan kesehatan pohon dalam tegakan.
Adapun tujuan pelaksanaan penjarangan adalah untuk memacu pertumbuhan dan meningkatkan kualitas dan kuantitas tegakan agar diperoleh tegakan hutan dengan massa kayu dan kualitas kayu yang tinggi sehingga dapat memberikan penghasila yang tinggi selama daur. Jadi pada dasarnya tujuan kegiatan ini untuk memberikan ruang tumbuh yang lebih baik bagi individu-individu terpilih dan menghilangkan individu yang cacat atau tidak terpilih.
Dasar pertimbangan dilakukannya penjarangan adalah bahwa diameter merupakan fungsi dari kerapatan. Tegakan yang rapat lazimnya ruang tumbuhnya terbatas, sehingga rerata diameter relatif lebih kecil. Sebaliknya bila ruang tumbuh terlalu besar, banyak ruangan yang kosong, percabangan pohon tidak teratur, sehingga total hasilnya kurang menguntungkan.

PENJARANGAN
1.              Peran Penjarangan
Penjarangan sangat diperlukan untuk menstimulir keadaan tegakan dan lingkungan. Pengaruh ini sangat berkaitan yang disebabkan oleh faktor-faktor yang dipengaruhi oleh penjarangan antara lain, temperature udara, presipitasi, penguapan, kelembaban udara, cahaya, suhu tanah dan kelembaban tanah. Sedangkan factor-faktor tersebut secara langsung maupun tidak langsung akan mempengaruhi tegakan.
Bellinga (1939) mengadakan peneltian tentang keadaan tegakan sebelum dan sesudah penjarangan pada hutan jati, terhadap jumlah batang, bidang dasar per hektar, diameter rata-rata dan tinggi rata-rata. Hasil penelitiannya, dengan penjarangan dapat membesar diameter batang, yang merupakan syarat penentu kualitas kayu, dan menambah produksi total dari tegakan.
2.              Waktu Penjarangan
Kegiatan penjarangan sebaiknya dilakukan pada musim kemarau. Pohon-pohon yang dimatikan dalam penjarangan terdiri dari :
1.       Pohon-pohon dengan batang cacat atau sakit (bengkok angin, pangkal batang berlubang atau cacat, luka terbakar, luka tebangan, benjol inger-inger, dll).
2.       Pohon-pohon dengan batang yang kurang baik bentuk atau kualitasnya (garpu, bayonet, bengkok, benjol, muntir, dan bergerigi yang dalam).
3.       Pohon-pohon tertekan (kecuali untuk mengisi lubang-lubang tajuk) yaitu pohon yang tajuknya, seluruh atau sebagian besar, berada di bawah tajuk pohon lain dan tingginya kurang dari tiga perempat tinggi rata-rata.
Semakin cepat tumbuh tanaman, semakin subur tanah dan semakin rapat tegakan, maka semakin awal penjarangan pertama perlu dilakukan. Ada dua criteria dalam menetapkan waktu penjarangan, yaitu :
1.       Perbandingan tajuk aktif yaitu perbandingan antara tajuk sampai batas cabang hidup (masih bereran dalam fotosintesis) dengan tinggi total tanaman/pohon. Untuk  daun lebar penjarangan dilakukan saat perbandingan tajuk aktif 30-40 %, dan untuk daun jarum saat perbandingan 40-50 %.
2.       Setelah beberapa saat tajuk pohon menutup. Umumnya untuk jenis cepat tumbuh penjarangan pertama dilakukan pada kisaran umur 3-4 tahun dan untuk jenis medium dan lambat tumbuh pada kisaran umur 5-10 tahun.
Frekwensi penjarangan tergantung pada ruang tumbuh optimal yang dibutuhkan tegakan pada saat itu. Pada umur muda penjarangan dilakukan dengan intensitas lemah dan berangsur-angsur menjadi penjarangan keras pada umur pohon yang sudah tua. Penjarangan yang mendadak keras merugikan karena :
1. Meningkatkan pertumbuhan gulma
2. Meningkatkan penebalan kulit dan cabang
3. Memacu pertumbuhan cabang
4. Meningkatnya kayu muda (Juvenile wood).
Besarnya intensitas penjarangan dapat ditetapkan dengan dua cara, yaitu :
1.       Berdasarkan intensitas penjarangan marginal yaitu penjarangan tidak mengakibatkan penurunan kumulatif produksi kayu pertukangan. Perlu diketahui informasi rata-rata batas maksimum bidang dasar pada peninggi tegakan tertentu dan rata-rata riap volume tegakan.
2.       Berdasarkan S % (persen sela), yaitu rata-rata jarak antar pohon yang dinyatakan dalam persen terhadap rata-rata peninggi pohon (= rata-rata 100 pohon tertinggi per ha dalam tegakan). S % optimal memberikan ruang tumbuh optimal bagi pohon dalam tegakan sampai saat penjarangan berikutnya. Untuk menetapkan S % optimal diperlukan data pertumbuhan pohon pada setiap umur tegakan. Besarnya S % pada akhir penjarangan beragam menurut jenis, umumnya berkisar antara 15-35 %.

3.              Metode Penjarangan
Untuk memenuhi kebutuhan kayu bagi penduduk, bahan baku industri dan  meningkatkan pendapatan perusahaan tanpa menurunkan daur tegakan, optimalisasi kegiatan penjarangan jati dan penerapan daur ganda sudah saatnya dilakukan oleh Perum Perhutani. Dengan kegiatan ini akan tercapai tujuan dari multiple use of forest land.
Ditinjau dari obyek pohon yang dijarangi, ada beberapa metode penjarangan hutan yaitu:
a)       Penjarangan tinggi, yaitu penjarangan terhadap pohon-pohon yang tajuk nya menonjol dibanding pohon yang lain (ingat tebang pilih pada TPTI).
b)       Penjarangan rendah, yaitu penjarangan terhadap pohon-pohon yang relatif tertekan, terkena penyakit, bengkok, jelek dll agar diperoleh tegakan tinggal yang baik. 
c)       Penjarangan seleksi, yaitu penjarangan terhadap pohon-pohon yang termasuk klasifikasi dominan agar pohon-pohon yang berada dibawah tajuk nya dapat terstimulasi pertumbuhannya,
d)       Penjarangan mekanis, yaitu penjarangan yang dilakukan untuk mengatur jarak antar pohon yang bertujuan memperoleh pertumbuhan optimal, tanpa melihat permukaan tajuk (ingat penjarangan untu walang), dan
e)       Penjarangan bebas, yaitu penjarangan yang tidak terkait dengan salah satu metode terdahulu dan tanpa memperhatikan permukaan tajuk. Sedangkan apabila ditinjau dari tingkat kekerasan penjarangan dibedakan menjadi tingkat penjarangan keras, tingkat penjarangan sedang, dan tingkat penjarangan rendah.

Bagi para praktisi pengelola hutan, khususnya petugas Perum Perhutani yang sehari-hari berkutat dengan kegiatan pemeliharaan (penjarangan hutan) seharusnya mengenal siapa itu Hart.  Selain Wolf von Wulfing dengan Tabel Normal Tegakan Jati-nya, Buurman dengan metode Tumpangsari-nya, dan Bruinsma dengan konsep Houtvesterij-nya, Hart merupakan konseptor penyusunan metode penjarangan hutan khususnya hutan tanaman jati. Berawal dari penelitian disertasi yang dilakukan Hart pada tahun 1928, setelah melalui beberapa penyempurnaan oleh Dinas Kehutanan Hindia Belanda (Dienst van het Boschwezen in Nederlandsch-Indie) lahirlah Petunjuk Teknis Penjarangan Tahun 1937 (Technische Voorschriften voor de Dunning in Djatibosschen) yang merupakan petunjuk penjarangan yang pertama untuk hutan tanaman jati di Jawa.
Meskipun ada beberapa pilihan metode penjarangan, yaitu penjarangan tinggi, penjarangan rendah, penjarangan seleksi  dan beberapa pilihan intensitas penjarangan mulai dari penjarangan keras, penjarangan sedang, maupun penjarangan lemah, metode penjarangan yang dipilih Hart untuk melakukan penjarangan di hutan tanaman jati adalah menggunakan pendekatan  metode penjarangan rendah dengan intensitas penjarangan lemah sehingga frekuensi penjarangan dilakukan sesering mungkin. Pertimbangan Hart memilih metode tersebut adalah untuk meminimalkan resiko over branching dan menghasilkan tegakan akhir yang kualitasnya baik. Dengan penjarangan rendah dan intensitas lemah yang dilakukan sesering mungkin maka jarak antar pohon masih cukup rapat sehingga meminimalkan resiko percabangan yang terlalu banyak, yang akan berpengaruh terhadap kualitas pohon. Di samping itu dengan penjarangan rendah akan dihasilkan tegakan akhir dari pohon-pohon dominan yang berkualitas baik sehingga tidak akan banyak limbah yang terbuang.
Secara umum, metode penjarangan Hart yang diadopsi dalam Peraturan Teknis Penjarangan Tahun 1937 antara lain adalah:
1.            Pohon dengan cacad, kekurangan bentuk, dan kualitas harus mendapat perhatian pertama untuk dibuang dalam penjarangan.
2.            Penjarangan pohon dominan diperkenankan hanya untuk tegakan muda, sepanjang tajuk tegakan tingal masih dapat saling menutup.
3.            Pohon-pohon  tertekan yang seluruh atau sebagian besar tajuknya dibawah tajuk pohon lain diutamakan dijarangi.
4.            Dalam penjarangan diupayakan terbentuk sebaran jarak antar pohon yang merata.
5.            Jumlah tegakan tinggal dupayakan berada pada batas dalam daftar tegakan tinggal.
                   Ditinjau dari aspek teknis dan aspek sosial ekonomi, pertimbangan Hart memilih metode penjarangan dengan derajat lemah dan intensitas sesering mungkin tidaklah keliru. Pada saat Hart melakukan penelitian tersebut (tahun 1928) jumlah penduduk di Jawa masih sangat sedikit, dan gangguan pencurian kayu jati relatif tidak ada, sehingga tegakan tinggal hasil penjarangan yang umumnya pohon dominan dan kodominan masih tetap aman. Di samping itu pada awal abad ke-20, industri pengolahan kayu di Jawa belum berkembang sehingga dengan ragam tegakan yang memiliki berkualitas batang baik akan meminimalkan biaya pengangkutan dan menghasilkan rendemen akhir yang tinggi. Perlu diingat pada awal abad ke-20, batang kayu jati tidak dibawa dalam kondisi utuh dari dalam hutan tetapi harus dipacak terlebih dahulu menjadi kayu bertarah bulat atau kayu bertarah persegi untuk mempermudah pengangkutan.

4.              Teknis Penjarangan
Pada hutan jati penjarangan biasanya dilakukan pada saat pohon berumur 1,5 sampai 2 tahun untuk tanah dengan bonita 4 keatas, sedangkan  untuk tanah-tanah dengan bonita 3,5 kebawah, tanaman dijarangi pada umur 3 sampai 4 tahun, selain itu harus diperhatikan perkembangan keadaan tegakan tersebut.
Sebelum digunakan penjarangan, menurut Hart pada hutan jati pelaksanaan penjarangan dengan menggunakan cara penjarangan kelas pohon dan penjarangan bebas. Pada setiap penjarangan, sejumlah pohon yang ada harus dibuang.  Untuk menentukan pohon mana yang harus dibuang, tergantung dari sistim penjarangan yang digunakan.
Pelaksanaannya kegiatan penjarangan pada perum perhutani terlebih dahulu melakukan inventarisasi tegakan dengan intensitas sampling 10%, yaitu dengan membuat Petak Contoh Percobaan (PCP) dengan jari-jari 17.8 meter atau setara dengan luas 0.1 Ha, dengan menunjuk satu pohon peninggi sebagai titik tengah. Semua pohon yang ada dalam PCP dihitung dan diberi nomor urut yang diawali (nomor 1) pada pohon peninggi yang juga diberi tanda T sebagai pohon tengah. Pohon yang tingginya ¾ dari pohon peninggi (pohon-pohon tertekan) tidak dihitung.
Apabila peninggi dan umur pohon sudah diketahui, maka bonita tanah dapat diketahui pula, yaitu dengan membaca pada tabel tegakan normal jati menurut Wolff van Wulfing, yang memuat jumlah pohon normal dalam luasan satu hekktar berdasarkan bonita tanah dan umur tegakan. Dengan demikian jumlah pohon yang harus dibuang/ ditebang per hektarnya dapat diketahui.
Sebelum dilakukan penjarangan, harus diketahui terlebih dahulu umur, bonita tanah, peninggi serta jumlah pohon per hektar, dengan ketentuan sebagai berikut :
Umur tegakan ditentukan dengan mengurangi tahun risalah dengan tahun tanam. Apabila dalam anak petak ada beberapa umur dengan beda yang tidak terlalu jauh maka ditetapkan umur rata-rata. Contoh petak luasnya 40 ha, 10 ha berumur 20 tahun, 30 ha berumur 25 tahun maka umur rata-rata adalah :
Pengukuran tinggi dengan alat Christenmeter atau Hagameter, yaitu dengan mengukur pohon peninggi yang merupakan tinggi pohon tertinggi tiap are atau rata-rata 100 pohon tertinggi per ha merata. Umur tiga tahun ke bawah tidak perlu diukur peningginya, sedangkan peninggi untuk umur yg berbeda, dihitung seperti menentukan umur rata-rata.
Bonita. Pada tegakan jati terdapat bonita dengan tingkatan setengah-setengah (bonita 1-1½, …, 5½-6). Bonita diperoleh dari Tabel WvW dengan melihat umur dan peninggi, dengan ketentuan bahwa untuk tegakan < 5 tahun, dicari dari bonita tegakan yang lebih tua yg berdekatan, sedangkan bonita yang baik dicari dari pohon dengan umur mulai 6 tahun peninggi.
Jumlah Pohon, menunjukkan banyaknya pohon per hektar yang dihitung berdasarkan jumlah pohon dalam petak ukur. Jumlah pohon dipergunakan sebagai dasar pertimbangan penjarangan dengan membandingkan dengan tabel tegakan normal.

Hasil  inventarisas tegakan yang dilakukan dengan menggunakan teknik sampling sistematik dengan petak ukur berbentuk lingkaran, dapat diketahui jumlah pohon normal yang harus ada dalam satu hektar yaitu dengan membandingkan jumlah pohon hasil inventarisasi dengan table normal WvW. Dengan demikian jumlah pohon yang harus dijarangai juga dapat diketahui.
Pohon-pohon yang dimatikan dalam penjarangan terdiri dari :
4.       Pohon-pohon dengan batang cacat atau sakit (bengkok angin, pangkal batang berlubang atau cacat, luka terbakar, luka tebangan, benjol inger-inger, dll).
5.       Pohon-pohon dengan batang yang kurang baik bentuk atau kualitasnya (garpu, bayonet, bengkok, benjol, muntir, dan bergerigi yang dalam).
6.       Pohon-pohon tertekan (kecuali untuk mengisi lubang-lubang tajuk) yaitu pohon yang tajuknya, seluruh atau sebagian besar, berada di bawah tajuk pohon lain dan tingginya kurang dari tiga perempat tinggi rata-rata.


KESIMPULAN
Penjarangan hutan adalah suatu tindakan silvikultur terhadap tegakan hutan tanaman yang bertujuan untuk memperoleh tegakan tinggal sehat, kualitas kayu yang baik pada akhir daur, sehingga hasil/produksi penjarangan hutan bukan merupakan tujuan utama tetapi merupakan hasil antara dari tindakan silvikultur.  Semakin cepat tumbuh tanaman, semakin subur tanah dan semakin rapat tegakan, maka semakin awal penjarangan pertama perlu dilakukan. Kegiatan penjarangan sebaiknya dilakukan pada musim kemarau.
Frekwensi penjarangan tergantung pada ruang tumbuh optimal yang dibutuhkan tegakan pada saat itu. Pada umur muda penjarangan dilakukan dengan intensitas lemah dan berangsur-angsur menjadi penjarangan keras pada umur pohon yang sudah tua.



Daftar Pustaka
Anonimous, 2001. Petunjuk Pelaksanaan Penjarangan Hutan Tanaman. Biro Pembinaan SDH Perum Perhutani Unit II Jawa Timur. Surabaya.
Teguh Yuwono, S. Hut, 2008, Optimalisi Penjarangan dan Penerapan Daur Ganda menuju Multiple Use of Forest Land, rimbawan interaktif-media komunikasi kehutanan Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar